Praktik Hukum dan HAM

Praktik Hukum dan HAM – Dalam praktiknya, justru hal inilah yang sedang terjadi. Banyak pelanggaran hukum diatasi dengan mekanisme kekeluargaan. Bahkan istilah kekeluargaan pun berubah artinya menjadi semacam “perdamaian “, “tahu sama tahu “. Kita sering mendengar istilah “damai saja Pak/Bu “. Sejauh praktik perdamaian itu dalam kepentingan menghindari konflik yang lebih besar dan mengarah pada tindak kekerasan kita pun mendukung. Tetapi, perdamaian tersebut harus tetap berasaskan bahwa yang salah tetap salah dan harus mendapatkan hukuman yang setimpal.

Yang terjadi, mekanisme kekeluargaan mengaburkan batas-batas antara yang salah dan yang benar. Ini sungguh berbahaya. Karena dalam proses lebih lanjut yang menakutkan adalah bahwa kita menjadi tidak tahu mana yang salah dan mana yang benar. Terdapat proses-proses permisif yang sangat mengkhawatirkan. Tampaknya proses sosial seperti itulah yang telah dan sedang terjadi.

Terdapat mekanisme lain dalam masyarakat kita yang disebut musyawarah-mufakat. Pada tataran ideal, mekanisme ini dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk mengatasi berbagai masalah publik, diatasi dan dibicarakan bersama, diharapkan berlangsung dengan cara-cara yang demokratis. Dari hasil musyawarah-mufakat tersebut kita diharapkan mendukung, dan apa pun yang terjadi di kemudian hari diambil hikmahnya. nahjbayarea.com

Tidak jauh berbeda dengan mekanisme kekeluargaan, permasalahannya apakah aktivitas permusyawaratan untuk mufakat itu dilaksanakan sesuai dengan prinsip demokrasi dan hukum sosial yang berlaku. Apakah tidak mungkin, dalam proses pelaksanaannya, yang dominan memimpin adalah kekuatan kolutif, ambisi-ambisi politis dan kekuasaan, niat-niat keserakahan, dan sebagainya.

Cara-cara dominasi itu sering dipertontonkan oleh elite-elite masyarakat dalam segala levelnya. Musyawarah berlangsung sangat tidak demokratis, hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuasaan. Akibatnya, hampir jarang mekanisme musyawarah-mufakat dapat berlangsung tanpa ketakutan terhadap risiko-risiko yang sangat mungkin bersifat psikologis. Misalnya, adanya perasaan takut berbeda pendapat dengan wacana dominan. Akhirnya, ketidakpuasan terpaksa dipikul diam-diam.

Akan tetapi, sebagai akibatnya, masyarakat memberikan reaksi dengan caranya sendiri, dan mungkin menimbulkan pelanggaran hukum lainnya. Reaksi yang paling sering muncul ke permukaan adalah perilaku-perilaku disorder, tetapi lebih dalam rangka perlawanan, baik tersembunyi atau terbuka. Pelanggaran menjadi berantai.

Jika dilihat lebih jauh, tidakkah mekanisme musyawarah-mufakat menjadi konsep yang dimobilisasi untuk kepentingan tertentu, dan dijadikan pamungkas dalam menyelesaikan berbagai kejadian. Artinya, bagaimana mekanisme tersebut dimanfaatkan sebagai “tujuan menghalalkan cara “. Mekanisme musyawarah-mufakat tidak lebih sebagai penyelesai masalah secara sementara dan permukaan. Karena yang terjadi adalah seperti menyelesaikan masalah, tetapi sesungguhnya tidak menyelesaikan apa pun. Bahkan berimplikasi pada hal-hal yang tidak dikehendaki.

Yang ingin dikatakan adalah bahwa konsep musyawarah-mufakat justru sering dijadikan sebagai mekanisme legitimasi untuk kepentingan kekuasaan tertentu. Kejadian ini semakin diperparah ketika mekanisme ini justru dipertontonkan secara kolosal, apakah itu musyawarah partai, dewan perwakilan, dan sebagainya. Pada gilirannya, masyarakat pun mendapat legitimasi untuk melakukan hal yang sama, dengan memanfaatkan musyawarah-mufakat untuk melegitimasi hal-hal yang sesungguhnya melanggar hukum.

Sebagai contoh, menghakimi atau memukul maling bersama-sama hingga mati, dan sebagainya. Pada mulanya tindakan itu seolah spontanitas, tetapi jika diusut lebih jauh ternyata tidak juga. Telah terdapat kesepakatan dan musyawarah diam-diam kalau ada maling (diberi-pelajaran), dan jika dilakukan bersama-sama menjadi tidak salah karena demikianlah tuntutan masyarakat. Musyawarah itu merupakan kesepakatan yang demokratis. Masyarakat mengabaikan undang-undang yang lebih besar bahwa orang bersalah itu harus diadili sesuai hukum yang berlaku. Tidak langsung dihukum sendiri. Sayang, itulah yang terjadi.