Perubahan Bermasyarakat Sosial dan Hukum

Perubahan Bermasyarakat Sosial dan Hukum – Hubungan antara hukum dan perubahan sosial bersifat timbal balik, dan hukum dapat dilihat sebagai pengaruh dan yang menyebabkan perubahan social, dalam bagian ini, hukum akan dianggap hanya sebagai alat atau instrument aktif untuk membimbing dan membentuk perilaku masa depan dan bentuk-bentuk sosial-yaitu, sebagai strategi perubahan sosial. Terdapat beberapa seperti ide Marx, Engels, dan Lenin hukum yang epiphenomenon masyarakat kelas borjuis ditakdirkan untuk menghilang atau runtuh dengan munculnya revolusi, UNI Soviet berhasil membuat perubahan besar dalam masyarakat dengan menggunakan undang-undang.

Pengakuan terhadap supremasi hukum sebagai strategi perubahan menjadi lebih menonjol dalam masyarakat kontemporer. Hal itu berlaku secara umum bahwa hukum semakin tidak hanya mengartikulasikan tetapi menetapkan jalan untuk perubahan social yang besar dan perubahan sosial yang berusaha dilakukan melalui hukum adalah sifat dasar dari dunia modern. Dror berpendapat hukum secara tidak langsung memainkan peran penting dalam perubahan sosial dengan membentuk berbagai institusi sosial, yang pada gilirannya berdampak langsung pada masyarakat. http://nahjbayarea.com/


Pendapat Dror mengenai hukum, bahwa hukum memberikan pengaruh langsung terhadap perubahan sosial, pada umumnya dilakukan dengan mempengaruhi atau mengintervensi sesuatu yang memungkinkan perubahan dalam berbagai institusi sosial.
Pada semua masyarakat modern, setiap kumpulan undang-undang dan undang-undang yang didelegasikan itu penuh dengan ilustrasi penggunaan hukum secara langsung, sebagai alat untuk perubahan sosial yang diarahkan. Perspektif yang agak berbeda pada hukum dalam perubahan sosial disajikan oleh L. Friedman. Ia mengacu pada perubahan melalui hukum dalam hal dua jenis: Perencanaan dan Gangguan. Perencanaanmengacu pada pembangunan arsitektur, dalam arti bentuk-bentuk baru dalam tatanan sosial dan interaksi sosial. Gangguan mengacu pada pemblokiran atau perbaikan sistem hukum yang ada dan dapat membawa pada perubahan social yang positif atau negative, tergantung dari sudut pandang seseorang dalam melihatnya.

William M. Evan dengan jelas mengatakan bahwa, Sebagai instrumen perubahan sosial, hukum memerlukan dua proses yang saling terkait. Yakni, pelembagaan dan internalisasi pola perilaku. Dalam konteks ini, pelembagaan pola perilaku berarti pembentukan norma dengan ketentuan untuk penegakan hukum, dan internalisasi pola perilaku berarti penggabungan satu nilai atau beberapa nilai yang tersirat dalam undang-undang. Hukum dapat mempengaruhi perilaku secara langsung hanya melalui proses pelembagaan. Jika, institusionalisasi ini berhasil pada gilirannya dapat memfasilitasi internalisasi sikap atau kepercayaan.
Namun, sejauh mana dampak hukum itu dapat terasa dan sejauh mana hukum itu relevan dengan suatu keadaan atau hanya berlaku dalam suatu keadaan tertentu. Ketentuan berikut dapat dijadikan garis besar pada efektifitas hukum sebagai strategi perubahan sosial. Untuk yang pertama hukum harus berasal dari sumber otoritatif dan prestise. Kedua, hukum harus memperkenalkan pemikiran dalam istilah yang dimengerti dan kompatibel dengan nilai-nilai yang ada. Yang ketiga, para pendukung perubahan harus membuat referensi bagi masyarakat lain atau negara-negara lain, di mana masyarakat itu ada dan hukum itu berlaku. Keempat, supremasi hukum harus menunjukkan ke arah pembuatan perubahan dalam waktu yang relatif singkat. Kelima, mereka (para penegak hukum) harus sangat berkomitmen terhadap perubahan undang-undang atau hukum yang di maksud. Keenam, pelaksanaan hukum harus mencakup sanksi-sanksi positif dan negatif. Ketujuh, supremasi hukum harus masuk akal, tidak hanya dalam hal sanksi-sanksi yang diberikan tetapi juga dalam perlindungan hak-hak orang-orang yang melanggar hukum. (Evan, 1965: 288-291)

Akses keadilan sebagai salah satu hak dasar yang bersifat universal, yang ditujukan bagi masyarakat kurang mampu dan termarjinalisasi, agar mereka dapat menggunakan sistem hukum untuk meningkatkan hidupnya. Karena itu pengalaman di berbagai negara dalam memberikan bantuan hukum bagi warga negara yang tergolong miskin atau tidak mampu adalah relevan dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis. Hal ini tentu saja berlaku bagi Negara Republik Indonesia yang juga merupakan negara hukum yang demokratis (konstitusionalisme).

Fakta empiris menunjukkan bahwa dalam masyarakat telah terdapat berbagai lembaga bantuan hukum baik berupa lembaga swadaya masyarakat maupun yang dikelola oleh fakultas hukum di perguruan tinggi yang telah memberikan bukti konkret dan kontribusi luar biasa terhadap warga negara Indonesia yang miskin atau tidak mampu untuk mendapatkan akses keadilan.
Selain itu, terdapat juga ribuan advokat yang menurut UU 18 / 2003, diwajibkan untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi orang yang tidak mampu. Akan tetapi, mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa serta jumlah penduduk miskin yang mencapai 32 juta jiwa serta wilayah Indonesia yang sedemikian luas, akses keadilan bagi mereka yang tergolong miskin atau tidak mampu masih jauh dari tingkat yang ideal.
Secara kuantitatif, rasio antara advokat dan jumlah penduduk Indonesia saat ini masih sangat timpang. Menurut catatan resmi di Mahkamah Agung Republik Indonesia, jumlah advokat sampai dengan tahun 2005 berjumlah kurang dari 30.000 orang, bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa.
Tujuan penyusunan kebijakan Bantuan Hukum adalah untuk menjamin dan memenuhi hak bagi fakir miskin untuk mendapatkan akses keadilan, baik di dalam maupun di luar proses peradilan; mewujudkan hak konstitusional warga negara sesuai dengan prinsip persamaan di hadapan hukum: menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.